Service Level Agreement (SLA): Perannya dalam IT support dan cara mengelolanya

Pernahkah Anda mengalami situasi di mana email keluhan Anda tak kunjung dibalas, padahal layanan yang Anda gunakan bermasalah? Atau, mungkin Anda pernah membuat tiket permintaan layanan, tetapi permintaan itu tidak pernah diproses? Jika iya, itu tandanya perusahaan tersebut gagal memenuhi SLA.

SLA adalah istilah yang umum digunakan dalam dunia ITSM. SLA ini merupakan pedoman penting bagi tim support dalam memberikan layanan kepada pengguna. Melalui SLA, tim IT support dapat memenuhi ekspektasi pengguna sekaligus menjaga agar proses layanan berjalan efisien dan konsisten.

Sayangnya, masih banyak perusahaan yang belum menerapkan SLA secara efektif. Dokumen SLA sering kali hanya sebatas formalitas, tidak benar-benar digunakan sebagai panduan. Itulah mengapa, diperlukan strategi yang tepat agar SLA benar-benar digunakan secara efektif di perusahaan. Blog ini akan membantu Anda memahami apa itu SLA, pentingnya bagi IT support, serta bagaimana cara membangun dan mengelolanya agar benar-benar berfungsi optimal.

 

Apa itu service level agreements (SLA)?

Service level agreement atau SLA adalah kontrak tertulis antara penyedia layanan dan pelanggan yang menjelaskan detail layanan, mulai dari bagaimana layanan akan diberikan, standar performa layanan, dan bagaimana penyedia layanan bertanggung jawab untuk memenuhi standar tersebut. Selain itu, kontrak ini juga menulis eskalasi yang akan dilakukan jika standar tidak terpenuhi.

Dalam konteks ITSM (IT Service Management), SLA membantu menetapkan dan mengelola ekspektasi end user saat mereka mengajukan permintaan atau melaporkan insiden. Biasanya, SLA dalam IT support akan mencantumkan seberapa lama permintaan akan disetujui dan seberapa insiden akan diselesaikan.

Tujuan utama dari SLA adalah menciptakan transparansi dan akuntabilitas antara penyedia layanan dan pelanggan. Dengan adanya standar yang jelas, tim IT dapat mengatur prioritas pekerjaan berdasarkan tingkat urgensi, sementara pelanggan merasa lebih tenang karena tahu kapan masalahnya akan ditangani.

 

Mengapa SLA penting dalam IT support?

SLA berfungsi sebagai standar utama dalam pemberian layanan (service delivery) di organisasi. Dengan SLA, tim IT support memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana layanan diberikan kepada pengguna dan apa saja tanggung jawab yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, SLA umumnya mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pemberian layanan, seperti:

  • Waktu respons (response time): Batas waktu yang diberikan kepada teknisi untuk merespons tiket dari pengguna. Misalnya, teknisi harus menjawab tiket paling lambat 24 jam setelah tiket diterima.

  • Waktu resolusi (resolution time): Batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan masalah yang dilaporkan pengguna. Misalnya, tiket harus diselesaikan dalam waktu maksimal 7 hari setelah tiket diterima.

  • Eskalasi: Langkah dan notifikasi otomatis yang akan dijalankan jika waktu respons atau waktu resolusi melebihi kesepakatan. Notifikasi biasanya akan dikirim ke pengguna dan manajer tim IT yang menangani tiket, agar tiekt dapat segera ditindaklanjuti.

Dengan adanya metrik-metrik tersebut, SLA membantu memastikan semua insiden dan permintaan yang diterima akan diselesaikan secara konsisten dan tepat waktu. Dampaknya, risiko downtime bisa ditekan, operasional bisnis bisa berjalan normal, dan tim IT service desk dapat bekerja lebih efisien dalam mengatur prioritas serta memanfaatkan sumber daya yang ada.

 

Apa dampak jika tidak ada SLA?

SLA berperan penting dalam aktivitas sehari-hari IT support. SLA membantu Anda mengalokasi sumber daya untuk mengelola layanan yang dijanjikan. Jika tidak ada SLA, Anda bisa mengalami hal-hal berikut ini:

1. Kurangnya kejelasan antara departemen mengenai peran masing-masing

Tanpa SLA, batas tanggung jawab antartim jadi kabur. Siapa yang harus merespons tiket duluan, siapa yang menyelesaikan, atau kapan harus diteruskan ke tim lain sering kali tidak jelas. Akibatnya, insiden bisa saling dilempar antardepartemen tanpa penyelesaian pasti.

Dengan adanya SLA, setiap pihak tahu ekspektasi dan perannya masing-masing. Koordinasi pun jadi lebih efisien karena sudah ada standar waktu dan prosedur yang disepakati bersama.

2. Waktu komunikasi, log, dan penyelesaian masalah meningkat

Ketiadaan SLA bisa membuat proses penyelesaian masalah berlarut-larut. Ini karena tidak ada target waktu yang mendorong tim untuk segera menindaklanjuti tiket.

SLA membantu mempercepat alur komunikasi dan penanganan karena setiap tahapan sudah memiliki tenggat waktu yang jelas. Hal ini membuat tim IT lebih sigap. Waktu komunikasi, log, dan penyelesaian masalah pun jadi tidak terlalu lama.

3. Turunnya efisiensi layanan

Tim IT support bisa sulit menentukan prioritas kalau hal ini tidak dijelaskan dalam SLA. Bisa jadi, tim IT support melihat semua tiket sama pentingnya. Padahal, ada tiket yang bersifat kritis dan butuh penanganan segera.

SLA memberikan panduan prioritas yang jelas, sehingga tim bisa fokus pada hal-hal yang paling berdampak bagi kelancaran operasional bisnis.

4. Meningkatnya risiko downtime sistem

Jika insiden tidak ditangani sesuai waktu yang ideal, dampaknya bisa meluas ke sistem lain. Downtime pun bisa terjadi.

Akan tetapi, dengan SLA yang terukur, tim IT dapat memantau dan merespons potensi gangguan lebih cepat. Dengan begitu, risiko downtime bisa ditekan seminimal mungkin.

5. Penurunan kepuasan end user dan pelanggan

Kalau tiket dibiarkan tanpa kepastian, end user dan pelanggan akan merasa tidak dihargai dan kehilangan kepercayaan terhadap tim IT. Lama kelamaan, citra organisasi pun ikut terdampak.

SLA membantu menjaga konsistensi layanan dan kepuasan pelanggan. Dengan adanya kejelasan waktu dan prosedur, pelanggan jadi tahu bahwa masalah mereka ditangani secara profesional dan tepat waktu.

 

Seperti apa contoh manajemen SLA yang tidak tepat?

Banyak perusahaan menerapkan manajemen SLA, tetapi penerapannya belum bisa dianggap tepat. Seperti apa contohnya? Ini dia.

1. Menjadikan SLA sebagai tolok ukur utama

Tujuan utama SLA adalah memastikan insiden dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Namun, bukan berarti semua kinerja teknisi diukur dari

seberapa cepat mereka menyelesaikan insiden. Sebab, hal ini berisiko membuat teknisi berusaha menutup tiket insiden secepat mungkin. Alih-alih memberikan solusi yang akurat, mereka justru memberikan solusi yang cepat. Yang penting beres, pikirnya.

Secara jangka panjang, tentu ini akan memperburuk kualitas resolusi insiden di suatu organisasi. Karena itu, organisasi sebaiknya tidak hanya mengandalkan waktu penyelesaian sebagai indikator keberhasilan. Kombinasikan juga dengan metrik lain, seperti customer satisfaction score (CSAT), untuk menilai apakah layanan yang diberikan benar-benar efektif dan memuaskan pengguna.

2. Menentukan SLA yang tidak realistis

Siapa sih yang tidak mau punya SLA dengan target keren? Terkadang, kita tergoda untuk membuat standar setinggi mungkin. Misalnya, kalau perusahaan lain menyelesaikan insiden dalam waktu 3 hari, kita bisa menyelesaikannya dalam waktu sehari.

Kedengarannya impresif, tetapi apakah SLA tersebut realistis? Apakah mungkin menyelesaikan insiden dalam waktu tersebut? Sebelum menetapkan SLA, penting untuk melibatkan baik tim IT maupun pihak bisnis dalam prosesnya. Target seperti waktu respons dan waktu penyelesaian harus disesuaikan dengan kapasitas tim di lapangan dan disepakati bersama. Selain itu, pastikan SLA yang dibuat tidak hanya ambisius, tetapi juga realistis dan mendukung kebutuhan bisnis secara keseluruhan.

3. Menetapkan kriteria SLA yang keliru

SLA seharusnya disusun berdasarkan prioritas, bukan asal menentukan. Ini karena prioritas ditentukan dari urgensi dan dampak. Jika kriteria yang dipakai bukan dua hal ini, maka hasilnya justru akan memperlambat penyelesaian insiden.

Organisasi Anda perlu menentukan berbagai level prioritas. Setelah itu, buatlah SLA yang spesifik untuk masing-masing level prioritas, lengkap dengan target waktu respons dan penyelesaiannya. Dengan begitu, tim IT tahu mana yang harus ditangani duluan dan pengguna pun bisa dapat layanan yang sesuai dengan tingkat urgensinya.

4. Tidak ada mekanisme eskalasi yang efektif

Ada target-target yang sudah ditetapkan dalam SLA. Namun, bagaimana kalau target tersebut tidak terpenuhi? Di sinilah Anda membutuhkan mekanisme eskalasi.

Idealnya, setiap SLA punya beberapa level eskalasi, baik yang bersifat proaktif maupun reaktif.

Eskalasi fungsional dilakukan kalau masalahnya perlu ditangani oleh orang yang lebih ahli. Misalnya, tiket diteruskan ke tim spesialis jaringan karena butuh penanganan teknis lebih dalam. Eskalasi hierarkis melibatkan level manajemen yang lebih tinggi, biasanya kalau ada risiko SLA akan terlanggar atau butuh keputusan strategis.

Kedua jenis eskalasi ini bisa jalan bersamaan. Misalnya, tiket bisa diteruskan ke spesialis sekaligus diberitahu ke manajer agar mereka bisa memantau progresnya. Kalau proses eskalasi ini diatur otomatis lewat sistem ITSM, maka efektivitas SLA pun akan jauh lebih tinggi.

 

Bagaimana cara mengelola SLA dengan efektif?

SLA memiliki peran besar dalam IT service desk. Oleh karena itu, Anda perlu mengelola SLA dengan efektif. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan.

1. Buat SLA yang berbeda untuk setiap tingkat keparahan tiket

Satu SLA tidak cocok untuk semua jenis tiket. Penting sekali untuk membuat SLA yang berbeda untuk masing-masing jenis tiket dan tingkat keparahan tiket. Dengan ini, IT service desk bisa mengalokasikan sumber daya yang tepat untuk setiap tiket dan mengelola ekspektasi pengguna lebih baik.

2. Tetapkan respons dan resolusi SLA

Anda perlu menentukan waktu respons dan resolusi tiket berdasarkan prioritas tiket. Tingkat prioritas ini bisa dikategorikan menjadi critical, high, medium, atau low berdasarkan pengaruh tiket terhadap bisnis.

Tetapkanlah waktu respons dan resolusi yang realistis. Dengan batas waktu ini, Anda bisa mendorong kepuasan pengguna, karena mereka merasa tiket sedang ditangani pihak yang bretanggung jawab.

3. Konfigurasi eskalasi SLA dengan otomatis

Terkadang, pelanggaran terhadap SLA memang tidak bisa dihindari. Jika hal ini terjadi, Anda perlu mekanisme yang memastikan tiket dapat segera diselesaikan. Eskalasi SLA memungkinkan masalah yang hampir melewati batas waktu atau sudah lewat untuk secara otomatis diberi perhatian oleh manajemen. Eskalasi diatur dalam beberapa level agar tiket bisa ditangani tepat waktu. Setiap level eskalasi bisa diatur supaya tiket secara otomatis naik prioritas atau dialihkan ke tim atau teknisis tertentu.

Itulah mengapa, menetapkan tanggung jawab atas tiket tertentu kepada teknisi menjadi tak kalah penting. Biasanya, teknisi yang pertama kali menghubungi pengguna akan tetap bertanggung jawab sampai tiket terselesaikan.

4. Buat SLA yang realistis

Saat merancang SLA, singkirkan pikiran untuk membuat SLA yang terlihat keren dan impresif. Biasanya, cara berpikir ini membuat Anda tanpa sadar merancang SLA yang tidak realistis.

Bukannya bagus, SLA yang tidak realistis justru bisa membuat IT service desk Anda underperform. Misalnya, tiket tidak terselesaikan tepat waktu karena deadline-nya terlalu singkat, pengguna tidak merasa puas karena merasa dibohongi dengan SLA yang memang tidak bisa dipenuhi, dan operasional bisnis pun jadi terganggu.

5. Tetapkan kontrol perubahan dalam IT SLA

Bisnis semakin berkembang, begitu pula dengan kebutuhan pengguna. Jadi, SLA sebaiknya tidak bersifat statis, Anda perlu terbuka dengan perubahan. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan proses standar agar setiap perubahan pada SLA bisa disetujui bersama oleh tim IT dan pengguna, lalu didokumentasikan dengan jelas di dalam SLA itu sendiri.

Dengan kontrol perubahan yang jelas, SLA membantu menyatukan visi organisasi, membuat tim IT bekerja lebih selaras dengan departemen lain atau vendor, dan memastikan layanan yang diberikan kepada pengguna tetap optimal.

6. Pantau performa SLA

Setelah SLA dibuat, apakah prosesnya berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak. Anda juga perlu memantau performa SLA secara berkala menggunakan KPI dan tool yang tepat. Pemantauan SLA ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah penerapan SLA sudah efektif. Jika ada kekurangan, Anda bisa menutupnya dengan melakukan program pelatihan atau merancang ulang SLA.

Anda bisa memantau SLA menggunakan dashboard dan mendapatkan informasi metrik-metrik penting melalui laporan. Beberapa metrik penting yang perlu dipantau adalah first call to resolution, defect rate, waktu rata-rata untuk merespons, turnaround time, dan waktu rata-rata untuk menyelesaikan masalah.

 

Kelola SLA dengan efektif bersama ServiceDesk Plus

Jangan jadikan SLA Anda sebagai dokumen 'yang penting ada' saja. Jangan biarkan pelanggan Anda kabur karena SLA yang gagal terpenuhi. Mulai sekarang, kelola SLA dengan optimal bersama ManageEngine ServiceDesk Plus.

ServiceDesk Plus merupakan solusi IT support modern yang dapat membantu Anda mengelola SLA dengan efektif melalui fitur-fitur di bawah ini:

- Konfigurasi SLA yang berbeda untuk permintaan layanan dan resolusi insiden atau berdasarkan tingkat keparahan tiket

- Konfigurasi eskalasi SLA secara otomatis, lengkap dengan template custom untuk email eskalasi SLA

- Dashboard dengan metrik-metrik penting untuk melihat performa SLA

Dengan solusi yang tepat, tim IT bisa memastikan setiap layanan diberikan sesuai janji. Sehingga, kerja pun lebih terarah, downtime berkurang, dan kepuasan pengguna meningkat secara keseluruhan.

Pelajari lebih lanjut tentang ServiceDesk Plus! Jadwalkan sesi khusus dengan tim kami untuk mempelajari fitur-fiturnya lebih dalam!